Minggu, 03 Februari 2013

Minggu Pagi Bersama Ayah



Pukul 7.05 HP berdering dan aku sudah yakin bahwa setiap yang menelponku sepagi itu pasti Ayah atau Ibuku. Tapi kali ini ternyata dari Ayah. Karena kemalasanku sampai tiga kali Ayah menelpon namun tak ku angkat juga. Akhirnya aku berjuang meraih HP dan mencoba menghubungi balik Ayah. Setelah sempat ditolak, akhirnya Ayah yang kembali menelponku. Ayah memberitahuku bahwa akan kesini (Kosku). Memang kebiasaan yang lumrah antara kami yakni serah terima uang saku dari Ayah untuk anaknya. Baik itu uang untuk makan, uang kos, uang kuliah Ayahku selalu memilih untuk mengantarkannya langsung, namun juga sempat beberapa kali ditransfer melalui Bank. Itupun kalau ada perantara melalui Ibuku. Sehingga hampir setiap dua minggu sekali Ayah akan mengunjungiku. Bukan apa-apa, namun kebiasaan kami ini sudah berlangsung di tahun keempat. Dan semenjak dua tahun terakhir aku merasa ada yang sesak di dada setiap kali setelah berjumpa dengan Ayah. Aku tidak tahu, namun rasanya antara haru, iba, dan perhatian tidak sempat tercurahkan lewat kata dan gerak raga. Aku merasa Ayah semakin renta oleh usianya namun masih semangat bekerja keras demi aku anaknya.

Kami sudah memiliki tempat khusus untuk saling berjumpa yaitu di warung gang dua Karangmenjangan. Ayahku akan selalu menungguku disitu.bahkan Ibu sang penjual nasi tersebut akan hafal dengan raut wajah Ayah dan tak jarang juga bercengkerama bersama kami. Setelah itu kami makan baru kemudian Ayah menyerahiku uang yang ku butuhkan kemudian Ayah kembali dengan kesibukannya dengan mengendarai len menuju wonokromo. Waktu kedatangan Ayah pun bervariasi kadang malam, sore pernah, dan seperti hari ini aku menjumpai Ayah di pagi hari. Arah kepulangannya pun tidak tentu, tergantung setelah itu Ayah akan pergi kemana. Kadang untuk kembali ke gudang Ayah naik angkot jurusan Wonokromo kemudian naik bis kota kea rah Medaeng, tempat garasi truk yang disetirnya. Atau kadang juga naik angkot ke arah JMP kemudian naik angkot lagi ke arah Gresik. Aku sendiri tidak ada motor sehingga Ayah tidak pernah sempat ku antarkan ke terminal atau tujuan yang Ayah inginkan. Hampir empat tahun Ayah melakukan aktivitas tersebut dan semakin kesini aku semakin merana melihat dan mengalami kondisi yang seperti ini.

Hampir jarang sekali Ayah datang ke kamar kosku. Alasannya ialah jauh dan kemudian panas. Memang jarak antara tempat pemberhentian angkot dengan kosku cukup jauh. Harus mengarungi empat gang kecil dengan jarak tempuh hampir dua puluh menit. Belum lagi hawa panas yan menyerang. Perah suatu ketika Ayah akan menginap di kosku, namun karena panas Ayah memilih untuk pulang. Namun karena ku bujuk karena hari sudah terlalu malam dan belum tentu ada angkot yang beroperasi Ayah ku bujuk untuk tetap menginap di kos. Ayah menuruti apa kataku bahkan Ayah langsung membelikan kipas angin baru malam itu juga. Ayahku memang tidak pernah berkompromi demi kebutuhan anak-anaknya. Apalagi tentang urusan sekolah. Namun pernah suatu malam saat itu bulan puasa. Ayah menelponku ketika hampir waktunya berbuka, namun aku sudah terlanjur di Masjid Agung Surabaya untuk buber bersama rekan sejawat. Dan aku baru pulang setelah terawih. Ayah tentu geram denganku dan aku juga sudah merasa bersalah sekali namun seperti biasanya Ayah tak pernah marah yang meledak kepadaku mungkin gerutunya yang itu saja sudah membuatku haru. Ada suatu kala ketika Ayah menemuiku di waktu malam, ketika angkot yang kami nanti tak kunjung datang aku dalam hati bagaimana kalau naik taksi saja, tak apa menggunakan uang sakuku yang telah diberikan. Namu Ayah selalu mempunyai cara tersendiri bahwa angkot itu pasti datang tinggal kita saja yang sabar untuk menunggu.

Aku selalu kagum kepada Ayah sama seperti anak-anak lain di seluruh dunia yang sangat perhatian pada Ayah maupun Ibunya. Ayah memang tidak selalu berkata pada ku bahwa aku harus A B C D dan Z. Namun Ayah telah mempercayakan padaku bahwa apapun yang ku lakukan haruslah bermanfaat dan tidak merugikan diriku sendiri apalagi orang lain. Ayah selalu menawariku lauk yang paling enak ketika kami makan di warung. Ayah selalu menungguku selarut apapun ketika aku pulang. Ayah memang tak banyak berucap, namun sekalinya menegurku akan selalu ku ingat dalam kondisi apapun. Dari Ayah aku belajar banyak tentang arti sebuah kerja keras, pengabdian, dan pengorbanan.

Seiring berjalannya hari, aku paham betul bahwa Ayah semakin renta oleh usianya. Tenaganya pun tak sekuat dahulu. Namun tetap saja Ayah akan berusaha untuk mencukupi apapun keinginan anak-anaknya. Aku sangat merasa bersalah dan menyesal akan semua kelalaianku, akan semua sikap pasifku, atas kemalasanku, dan segala kebisuanku untuk perhatian kepada Ayah yang hanya ku pendam di hati saja. Ayah, maaf. Maafkan aku karena tak dapat rajin seperti yang engkau inginkan, maafkan aku atas setiap telepon yang tak ku angkat, atas semua uang jajan yang tak ku gunakan sebijak mungkin, dan yang paling penting ialah maaf karena aku belum mampu menuntaskan kuliah untuk menjadi wisudawan pertama di keluarga seperti yang kau idam-idamkan. Berikanlah aku waktu untuk membalas semua kasih sayangmu terhadapku. Untuk saat ini biarlah waktu yang akan menawab segala doa dan harapan Ayah juga Ibu. Aku sungguh akan berusaha dan tak menyia-nyiakan kepercayaan mereka. Bismillah Tuhan, seperti setiap doa yang pertama ku lantunkan setiap saat:

“Jagalah orangtuaku dari amarahMu, berikanlah mereka umur panjang agar aku mampu membalas budi baik mereka, pun juga bahagiakan mereka seperti Kau membahagiakan atau bahkan lebih…amin”

Untukmu Ayah, aku sayang pada Ayah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar