Pukul 7.05 HP berdering dan aku
sudah yakin bahwa setiap yang menelponku sepagi itu pasti Ayah atau Ibuku. Tapi
kali ini ternyata dari Ayah. Karena kemalasanku sampai tiga kali Ayah menelpon
namun tak ku angkat juga. Akhirnya aku berjuang meraih HP dan mencoba
menghubungi balik Ayah. Setelah sempat ditolak, akhirnya Ayah yang kembali
menelponku. Ayah memberitahuku bahwa akan kesini (Kosku). Memang kebiasaan yang
lumrah antara kami yakni serah terima uang saku dari Ayah untuk anaknya. Baik
itu uang untuk makan, uang kos, uang kuliah Ayahku selalu memilih untuk
mengantarkannya langsung, namun juga sempat beberapa kali ditransfer melalui
Bank. Itupun kalau ada perantara melalui Ibuku. Sehingga hampir setiap dua
minggu sekali Ayah akan mengunjungiku. Bukan apa-apa, namun kebiasaan kami ini
sudah berlangsung di tahun keempat. Dan semenjak dua tahun terakhir aku merasa
ada yang sesak di dada setiap kali setelah berjumpa dengan Ayah. Aku tidak
tahu, namun rasanya antara haru, iba, dan perhatian tidak sempat tercurahkan
lewat kata dan gerak raga. Aku merasa Ayah semakin renta oleh usianya namun
masih semangat bekerja keras demi aku anaknya.
Kami sudah memiliki tempat khusus
untuk saling berjumpa yaitu di warung gang dua Karangmenjangan. Ayahku akan
selalu menungguku disitu.bahkan Ibu sang penjual nasi tersebut akan hafal
dengan raut wajah Ayah dan tak jarang juga bercengkerama bersama kami. Setelah
itu kami makan baru kemudian Ayah menyerahiku uang yang ku butuhkan kemudian
Ayah kembali dengan kesibukannya dengan mengendarai len menuju wonokromo. Waktu
kedatangan Ayah pun bervariasi kadang malam, sore pernah, dan seperti hari ini
aku menjumpai Ayah di pagi hari. Arah kepulangannya pun tidak tentu, tergantung
setelah itu Ayah akan pergi kemana. Kadang untuk kembali ke gudang Ayah naik
angkot jurusan Wonokromo kemudian naik bis kota kea rah Medaeng, tempat garasi truk
yang disetirnya. Atau kadang juga naik angkot ke arah JMP kemudian naik angkot
lagi ke arah Gresik. Aku sendiri tidak ada motor sehingga Ayah tidak pernah
sempat ku antarkan ke terminal atau tujuan yang Ayah inginkan. Hampir empat
tahun Ayah melakukan aktivitas tersebut dan semakin kesini aku semakin merana
melihat dan mengalami kondisi yang seperti ini.
Hampir jarang sekali Ayah datang
ke kamar kosku. Alasannya ialah jauh dan kemudian panas. Memang jarak antara
tempat pemberhentian angkot dengan kosku cukup jauh. Harus mengarungi empat
gang kecil dengan jarak tempuh hampir dua puluh menit. Belum lagi hawa panas
yan menyerang. Perah suatu ketika Ayah akan menginap di kosku, namun karena
panas Ayah memilih untuk pulang. Namun karena ku bujuk karena hari sudah
terlalu malam dan belum tentu ada angkot yang beroperasi Ayah ku bujuk untuk
tetap menginap di kos. Ayah menuruti apa kataku bahkan Ayah langsung membelikan
kipas angin baru malam itu juga. Ayahku memang tidak pernah berkompromi demi
kebutuhan anak-anaknya. Apalagi tentang urusan sekolah. Namun pernah suatu
malam saat itu bulan puasa. Ayah menelponku ketika hampir waktunya berbuka,
namun aku sudah terlanjur di Masjid Agung Surabaya untuk buber bersama rekan
sejawat. Dan aku baru pulang setelah terawih. Ayah tentu geram denganku dan aku
juga sudah merasa bersalah sekali namun seperti biasanya Ayah tak pernah marah
yang meledak kepadaku mungkin gerutunya yang itu saja sudah membuatku haru. Ada
suatu kala ketika Ayah menemuiku di waktu malam, ketika angkot yang kami nanti
tak kunjung datang aku dalam hati bagaimana kalau naik taksi saja, tak apa
menggunakan uang sakuku yang telah diberikan. Namu Ayah selalu mempunyai cara
tersendiri bahwa angkot itu pasti datang tinggal kita saja yang sabar untuk
menunggu.
Aku selalu kagum kepada Ayah sama
seperti anak-anak lain di seluruh dunia yang sangat perhatian pada Ayah maupun
Ibunya. Ayah memang tidak selalu berkata pada ku bahwa aku harus A B C D dan Z.
Namun Ayah telah mempercayakan padaku bahwa apapun yang ku lakukan haruslah
bermanfaat dan tidak merugikan diriku sendiri apalagi orang lain. Ayah selalu
menawariku lauk yang paling enak ketika kami makan di warung. Ayah selalu
menungguku selarut apapun ketika aku pulang. Ayah memang tak banyak berucap,
namun sekalinya menegurku akan selalu ku ingat dalam kondisi apapun. Dari Ayah
aku belajar banyak tentang arti sebuah kerja keras, pengabdian, dan
pengorbanan.
Seiring berjalannya hari, aku
paham betul bahwa Ayah semakin renta oleh usianya. Tenaganya pun tak sekuat
dahulu. Namun tetap saja Ayah akan berusaha untuk mencukupi apapun keinginan
anak-anaknya. Aku sangat merasa bersalah dan menyesal akan semua kelalaianku,
akan semua sikap pasifku, atas kemalasanku, dan segala kebisuanku untuk
perhatian kepada Ayah yang hanya ku pendam di hati saja. Ayah, maaf. Maafkan
aku karena tak dapat rajin seperti yang engkau inginkan, maafkan aku atas
setiap telepon yang tak ku angkat, atas semua uang jajan yang tak ku gunakan
sebijak mungkin, dan yang paling penting ialah maaf karena aku belum mampu
menuntaskan kuliah untuk menjadi wisudawan pertama di keluarga seperti yang kau
idam-idamkan. Berikanlah aku waktu untuk membalas semua kasih sayangmu
terhadapku. Untuk saat ini biarlah waktu yang akan menawab segala doa dan harapan
Ayah juga Ibu. Aku sungguh akan berusaha dan tak menyia-nyiakan kepercayaan
mereka. Bismillah Tuhan, seperti setiap doa yang pertama ku lantunkan setiap
saat:
“Jagalah orangtuaku dari
amarahMu, berikanlah mereka umur panjang agar aku mampu membalas budi baik
mereka, pun juga bahagiakan mereka seperti Kau membahagiakan atau bahkan lebih…amin”
Untukmu Ayah, aku sayang pada
Ayah…