Sebelumnya saya ucapkan Minal Aidin Wal Faizin pada semua pembaca.
Masih menyambut suasana Idul Fitri, postingan ini hadir untuk lagi-lagi
bercerita tentang pengalaman pribadi saya dan dari sudut saya. Tanpa
bermaksud untuk menyudutkan atau meremehkan pihak lain (Merasa terlalu
provokatif dengan judul).
Jadi tahun ini saya mudik. Ke
Rembang tentunya. Ini merupakan kedua kali saya merasakan menjadi salah
seorang pemudik, dalam hal bukan sebagai mahasiswa. Jadi dalam
pandangan saya, mudik itu harus ada membawa sesuatu untuk orang yang
dirumah. Kalau mahasiswa kan statusnya pulang kampung dan belum bisa
membawa apa-apa. Lumayan bangga juga sih, karena tahun kedua mampu
memberikan sedikit kepada orangtua, adik, keponakan dan handai tolan.
Bahkan lebih kerasa lagi mudiknya dengan memakai motor dan menempuh tiga
jam perjalanan plus printilan yang harus dibawa. Mudik yang "udik"
banget memang. Dengan membonceng Ibu, mengarungi jalanan Pantura dengan
segenap buah tangan yang tak layak aslinya bila diabaikan. Sehingga
mudik tahun ini memang lebih kerasa karena akhirnya saya sama seperti
pemudik khususnya yang beroda dua yang membawa barang berbusa-busa dan
menempuh jarak yang melunglaikan raga.
Yang unik
menurut saya, pun dijaman kemajuan teknologi informasi sekarang ini
ritual mudik masih dan bahkan harus tetap dijalankan oleh setiap
perantauan. Kalau alasannya untuk menjalin silaturahmi, HP sudah cukup
mewakili dengan setiap layanannya. Namun yang mejadi khas dari mudik
ialah, menurut saya hal ini juga dilambangkan dengan kesuksesan. Sukses
karir dan dari segala jerih payah yang mampu dibanggakan di kam pung
halaman. Pun hal ini dimaksudkan positif bahwa dengan setahun bekerja
keras setidaknya pencapaian yang telah diraih laik untuk dikabarkan
kepada handai taulan di kampung. Pun menurut data statistik yang saya
baca bahwa setiap tahun jumlah pemudik semakin bertambah. Ya,
menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang terus bertambah, ya memang
arus pertumbuhan urbanisasi semakin membara, ya bahkan bisa dikatakan
kondisi ekonomi di Indonesia semakin memungkinkan masyarakatnya untuk
bisa kembali ke rumah dengan segenap rejeki yang diraihnya. Sehingga
semakin sedikit Bang Toyib yang tak pulang tiga kali puasa tiga kali
lebaran. Karena Bang Toyib bisa pulang setahun sekali.
Selain
mudik untuk menemui handai taulan, yang tidak kalah menarik ialah Reuni
di setiap perayaan idul fitri. Memang mungkin ini bukan satu-satunya
waktu yang bisa dijadikan alasan untuk berkumpul, namun memang kembali
lagi momen lebaran merupakan yang paling ramai untuk berkumpul sejumlah
kawan lawas. Bagi saya yang anaknya hiperaktif di segala bidang, idul
fitri yang libur tujuh hari rasanya masih kurang untuk menemui setiap
kawan. Hari pertama kedua saya manfaatkan untuk keluarga. Hari ketiga
untuk teman sekelas saat SMA, hari keempat kembali untuk keluarga yang
berkunjung ke rumah, hari kelima masih untuk teman SMA yang sisanya,
hari keenam untuk sahabat terdekat, bahkan sampai hari ketujuh masih ada
untuk teman-teman pramuka (disempetin karena bertemu mantan terindah).
Pun saya masih belum bisa mengunjungi atau bertemu dengan teman SMP atau
teman kos semasa SMA. Well, memang rasanya kurang terus. Saya sih
bangga dengan pencapaian saya menjadi anak yang punya banyak teman,
bersosialisasi disana-sini. Bahkan Ibu dan Ayah juga tak jarang geleng
kepala anaknya malah jarang di rumah. Namun sekali lagi ini memang momen
untuk kembali ke fitri, selain itu juga momen untuk memperkuat tali
silaturahmi. Saya tipikal orang yang menjunjung tinggi nilai silaturahmi
tersebut, namun pabila ada yang saya blacklist dari lingkaran kehidupan
saya ya berarti orang tersebut memang sudah keterlaluan, saya sih masih
berusaha menjadi manusia pemaaf. Ya mereka yang saya blacklist saya
maafkan. Tapi untuk kembali dekat dengan saya rasanya masih mikir-mikir
lagi.
Sekali lagi selamat hari raya, meskipun libur
sudah tiada mari kembali bekerja. Semangat untuk kesempatan-kesempatan
berikutnya. Demi mudik yang lebih terdidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar