Kenapa seseorang bisa menjadi motivator? atau inspirator? mereka juga orang biasa di sekitar kita. Bahkan salah satu teman kita. Tapi mereka memang beda. Bukan berarti kita ingin menjadi diri mereka. Tapi setidaknya kita ingin menjalani kebaikan yang mereka tauladankan. Dengan segenap hati dan perasaan tulisan ini dipersambahkan untuk dia. Dia yang selama ini ku pandangi dari belakang punggungnya. Dia yang setiap kali orang lain menyebut namanya jusrtu hati ini yang berdebar salah tingkah. Dia, yang ketika tinggal berdua tak pernah sempat ku ucap sepatah kata.
5 April 2013. Titik penting bagaimana diri ini merasa masih jauh dibanding sang motivatornya. Dia yang begitu ulet bekerja, merelakan setiap kesenangan bersama teman-temanya. Kuliahnya yang hampir terlewat karena kesibukan dia yang lainnya. Namun dibalik itu semua dia memiliki rasa sayang yang amat sangat terhadap keluarganya. Untuk selalu berbakti pada Ayah dan Ibunya. Untuk selalu memantau perkembangan adik-adiknya. Keinginannya untuk tetap dekat dihati keluarganya yang jauh disana. Akan sangat terbukti ketika Ibunya sendiri yang berkata bagaimana bangganya dia mendengar anaknya yang masih kuliah sambil bekerja memberikan segala hasil jerih payahnya untuk orangtua. Bahkan berkeinginan membantu membiayai sekolah adiknya. Ibu mana yang tak bangga dengan kebaktian anak seperti tersebut? Ibu mana yang tak terenyuh dengan ketulusan seorang anak yang ada jauh dari pelukannya namun justru yang paling berbakti?
Merasa hina ketika ternyata aku masih tidak bisa berbuat banyak untuk dia. Bahkan malah mengganggunya. Mengusiknya. Mungkin Tuhan menyampaikan teguran-Nya dengan cara yang lain untuk diri ini. Bagaimana seseoranng yang mampu menjadi panutan kita ternyata sangat dekat dan nyata di dekat kita. Seorang pejuang sejati yang mengikhlaskan diri untuk selalu terbebani demi keluarganya agar mampu berseri. Tidak ada alasan untuk tidak "adoring" terhadap dia. Memang bukan sosok yang sempurna, namun kehadirannya mampu membawa terang bagi pandangan mata. Tidak ada alasan untuk aku membencinya, sesenyap apapun itu hubungan diantara kita.
5 April 2013. Titik penting bagaimana diri ini merasa masih jauh dibanding sang motivatornya. Dia yang begitu ulet bekerja, merelakan setiap kesenangan bersama teman-temanya. Kuliahnya yang hampir terlewat karena kesibukan dia yang lainnya. Namun dibalik itu semua dia memiliki rasa sayang yang amat sangat terhadap keluarganya. Untuk selalu berbakti pada Ayah dan Ibunya. Untuk selalu memantau perkembangan adik-adiknya. Keinginannya untuk tetap dekat dihati keluarganya yang jauh disana. Akan sangat terbukti ketika Ibunya sendiri yang berkata bagaimana bangganya dia mendengar anaknya yang masih kuliah sambil bekerja memberikan segala hasil jerih payahnya untuk orangtua. Bahkan berkeinginan membantu membiayai sekolah adiknya. Ibu mana yang tak bangga dengan kebaktian anak seperti tersebut? Ibu mana yang tak terenyuh dengan ketulusan seorang anak yang ada jauh dari pelukannya namun justru yang paling berbakti?
Merasa hina ketika ternyata aku masih tidak bisa berbuat banyak untuk dia. Bahkan malah mengganggunya. Mengusiknya. Mungkin Tuhan menyampaikan teguran-Nya dengan cara yang lain untuk diri ini. Bagaimana seseoranng yang mampu menjadi panutan kita ternyata sangat dekat dan nyata di dekat kita. Seorang pejuang sejati yang mengikhlaskan diri untuk selalu terbebani demi keluarganya agar mampu berseri. Tidak ada alasan untuk tidak "adoring" terhadap dia. Memang bukan sosok yang sempurna, namun kehadirannya mampu membawa terang bagi pandangan mata. Tidak ada alasan untuk aku membencinya, sesenyap apapun itu hubungan diantara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar