Berfikir yang tidak-tidak, sempat. Maulan, sulung dari enam bersaudara. Lahir di Pare, Kediri. Lulusan SR, dari remaja sudah geliat bekerja. Ikut saudara sana sini menjadi petani, beternak meri dan dengan semangat untuk pergi dari kampung halaman dia putuskan untuk menjadi Sopir Truk. Puluhan tahun rasanya dia habiskan di sepanjang jalan pantura. Bertemu anak dan keluarganya hanya seminggu sekali bahkan sebulan sekali pernah bila muatan sudah sepi dan belum lagi macet disana sini. Beliau Ayahku. Yang menghidupi saya 24 tahun terakhir.
Sosok Ayah yang diam tapi keras, jarang omong tapi lugas. Darinya aku mengerti betul tentang kerja keras. Mengingatkan untuk tidur di rumah meskipun yang kita punya hanya kasur sederhana. Dia adalah alasan untuk tetap semangat dalam setiap kesempatan. Untuk tetap bersyukur dan tidak sombong.
Toga menjadi hadiah kado terbesarku untuknya. Dan semoga Ayah cepat sembuh dan sehat sehingga aku masih bisa memberi kado lain dalam kesempatan yang akan datang. Meskipun tak akan cukup segala budi balasan. Yang paling miris hari ini ialah ketika melihat Ayah yang akan pergi untuk menaruh Truk di gudang. Ayah mengenakan kemeja batik seperti biasanya. Dengan pelan, dia mengancingkan bajunya. Dia masih tetap berusaha dengan tangan kirinya yang bengkak. Ku tawarkan untuk membantu, namun Ayah dengan santai Ayah masih bisa. Aku berlalu untuk mengalihkan kesedihan. Selepasnya aku kembali dan mengantarkan ke teras, aku masih melihat dua teratas kancing bajunya belum terkait. Aku hanya menghela nafas dalam.
Tuhan, seperti doa doaku sebelumnya dan yang akan datang. Jagalah kedua orang tuaku. Berilah mereka kesehatan. Berikanlah aku kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka. Apalah yang aku bisa berikan selain doa dan kasih sayang. Tapi semoga ada waktu dan kesempatan di hari lain untuk membalas kasih sayang mereka. Setidaknya untuk mengancingkan baju Ayah, layaknya dia yang mengancingkan seragamku waktu TK.