2013, 2 januari. Waktu sungguh memperlihatkan bagaimana dunia akan memberikan segala kejutan dibalik rahasia Sang Kuasa. Aku masih percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dikehidupanku merupakan bagian dari goresan takdir yang telah tertulis untukku. Ada makna disetiap kejadian ini. Ada semacam perimbangan baik - buruk, senang - sedih, pencapaian - pengorbanan dalam kehidupanku sehari-hari. Syukur, seharusnya lebih sering ku ucap bukan malah permintaan-permintaan lain yang selalu ku tuntut yang tidak pernah akan ada kepuasan. "Neriman" mungkin sudah tidak lagi menjadi kata utama yang ada di prinsip hidupku. "Survival of the fittest" lebih mendominasi acuan hidupku saat ini. Ya, terlalu agresif mungkin tapi aku melihat itu sebagai acuan untuk tetap kompetitif dan bekerja lebih keras agar tidak terkesan pasif. Pasif merupakan kata yang ku hindari dalam kamus pergaulan sehari-hari. 21 tahun diberikan kesempatan hidup dan selama itu pula mulai mengorek kembali apa yang telah kuberikan selama aku hidup?
"Don't ask what your country do for you, but ask what you can do for your country" (JFK)
quote diatas merupakan quote yang paling inspiratif untukku. Semacam lecutan untuk berbuat terbaik untuk negeri, bukan terlalu banyak menuntut dari negeri ini. Dari hal paling kecil, apa yang telah ku perbat untuk Ayah & Ibu, kemudian untuk masyarakat, lingkungan, dan negara? Puas masih terlalu jauh untuk dikatakan. Setidaknya bukan nol besar. Dan memang harus bisa bermanfaat untuk orang lain. Pengabdian juga bukan merupakan kata yang dapat menggambarkan perilakuku. aku lebih suka menyebutnya totalitas. Total dalam artian menjaga nama baik, rela berkorban, dan ikhlas dengan segala sesuatunya. Bukan berarti terlalu demanding bila dalam hati menggerutu ingin ini itu. Tapi seperti kata Ibuku bahwa masih banyak orang yang dibawah kita, tidak seberuntung dengan apa yang telah kita raih atau capai.
Dua paragraf tulisan diatas ini kenapa sangat serius? Sesungguhnya yang ingin ku tulis ialah mengingat kembali kenapa aku masuk di jurusan ini? (Ilmu Hubungan Internasional - Universitas Airlangga - Surabaya). 2009, ketika diujung masa pembelajaran di bangku SMA. Ketika setiap siswa kelas tiga (sekarang kelas 12) mulai gundah gulana untuk menentukan langkah pendidikan mereka selanjutnya. Aku, juga termasuk didalamnya. Sebagai siswa dengan predikat masuk IPA karena terpaksa. Otomatis pilihan-pilihan jurusan yang tertera justru non-eksakta. Komunikasi, sastra, dan tentu Hub. Internasional menjadi pilihan utama. HI sebelumnya merupakan kata yang tidak biasa terdengar di telinga, namun seorang teman mengabarkan bahwa dengan kuliah di jurusan HI meningkatkan posisi kasta kita. Karena lulusan HI akan menjadi diplomat yang notabene mempresentasikan Negara kita di mata dunia. Belum bonus tinggal di luar negeri sehingga sangat menambah eksistensi. Oke, dengan demikian HI merupakan jurusan yang mulai ku minati. Berbagai brosur PTN terkumpul, seleksi untuk masuk jurusan HI pun ku geluti. Tidak semua PTN di negeri ini membuka jurusan HI. UI, UGM, pastinya memiliki jurusan ini namun dengan mempertimbangkan kapabilitas dan probabilitas untuk masuk perguruan tinggi ini maka aku berkecil hati.
Aku selalu berkeyakinan bahwa rejekiku berada di timur negeri ini (jawa timur lebih tepatnya). Sehingga PTN yang ingin ku masuki ialah yang ada disini. UB menjadi prioritas utama. Karena merupakan impianku sejak kecil untuk dapat merasakan menjadi anak kuliahan di Malang dengan hawa dinginnya yang menusuk tulang. Tapi, Universitas Airlangga turut menjadi pertimbangan karena namaku tertera disini. Dan yang paling penting (dan menjadi salah satu faktor utama) kau bilang bahwa ingin masuk ITS. Sehingga semakin besar niatku untuk masuk UNAIR. Tak apalah aku menunggumu setahun asalkan kita dapat kuliah sekota, dan Unair - ITS memang berjarak hanya beberapa belas kilo saja. Aku tidak tahu takdir berkata apa, namun rasanya di balik semua keberuntungan, doa ayah ibu dan kawan sehingga aku kuliah disini ialah salah satunya karena aku termotivasi oleh kau. Kau tidak akan pernah tahu mengapa hal ini terjadi, karena akupun juga masih bingung mengapa aku terdampar disini.
Empat tahun berselang, banyak pengalaman yang berlalu lalang. Seiring silih bergantinya musim kemarau ke musim hujan namun segala kecanduanku pada kau tak pernah hilang. Seandainya kau berada lebih dekat denganku. Seandainya jarak antar kota atau bahkan antar propinsi bisa dihubungkan oleh koneksi simpati antar hati. Seandainya segala jejaring sosial mampu mempertemukan kau dan aku lebih sering dari yang sekarang. Kau tidak tahu, tapi aku berusaha yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita berdua memiliki alasan dan jawaban atas setiap pertanyaan yang ku ajukan. Empat sampai enam tahun lalu ketika masih menggunakan seragam abu-abu kau menjadi canduku. Empat tahun dari sekarang aku tidak pernah tahu apa yang akan ku rasakan. Namun hingga sekarang candu ini belum juga hilang.
Aku masih memilih lagu yang tepat untuk kau. Tapi yang jelas lagu tersebut ialah lagu milik Adele. Besar harapan untuk dapat menghilangkan candu ini dan mengikhlaskan kau seperti lagu "Someone Like You". Namun keyakinan hati ini untuk mengejar kau secara optimistis tersurat dalam lagu "One and Only". Kepasrahanku untuk merelakan kau pula tergambar dalam "Take it All". Atau terkadang aku tenggelam dalam segala kenangan seperti "Don't You Remember". Namun yang jelas untuk sekarang ini aku galau dan lagu yang ku pilih ialah "...should I give up? Or should I just keep Chasing Pavements?"
#dalam kebisuan kita berkomunikasi dari hatiku ini selalu ingin terkoneksi dengan kau, semoga frekuensi antara kita tidak terputus karena kondisi cuaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar