Ada kalanya bahwa aku sangat penat dengan kehidupan Surabaya yang padat dan pekat. Disaat seperti itu hal yang biasa ku lakukan ialah berinisiatif untuk pulang ke kampung halaman Rembang yang menyajikan seluruh udara segar yang ku butuhkan. Dengan suara gemuruh ombak yang berteriak, serta semilir angin yang bergulir lirih di setiap pantai pasirnya. Sudah sebulan lebih ini aku belum pulang ke Rembang. Cukup lama bagiku dan aku sudah sangat penat dengan hingar bingar Surabaya ataupun desah gerimis hujan yang membuat banyak orang menjadi tidak enak badan. Namun keinginanku untuk pulang enggan terwujud karena adanya pekerjaan dan juga weekend yang hanya ku gunakan beristirahat dan hanya berdiam diri di kamar kosan. Aku masih merasa belum pas bila kembali ke Rembang meskipun udara pantainya telah berada diawang-awang. Tidak hanya karena pantai, ombak, dan desiran pasir yang ku rindukan, namun keluargaku mulai dari Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Bulek, dan handai tolan disana membuatku semakin rindu pada kampung halaman. Namun sekali lagi aku masih belum memperioritaskan untuk pulang ke Rembang.
Aku merasa bahwa semakin kesini aku semakin sadar bahwa tanggungjawabku semakin besar. Segala sesuatunya menjadi kekhawatiran. Aku takut apa yang akan terjadi esok setelah aku selesai kuliah di UA ini. Aku takut menjadi pengangguran yang kembali ke kampung halaman dan menjadi sampah masyarakat. Dan yang paling ku takuti ialah bagaimana aku tidak dapat menjaga bahkan ekspektasi orangtua. Baru saja kemarin terungkap bagaimana ternyata mereka sangat mengharapkan aku setelah aku sudah mulai bekerja nanti. Sesak, aku merasa belum siap dengan segala pertanyaan aku kerja apa, dimana, ngapain, bahkan menyangkut urusan gaji. Aku tidak siap betul menjawab setiap pertanyaan alami yang muncul bagi para mahasiswa semester akhir. Aku hanya terlena dengan keinginanku yang ini dan itu. Namun aku malah mengabaikan apa yang diinginkan oleh orangtuaku. Kami memang dari keluarga yang tidak punya dan berada, sehingga seharusnya kau paham betul bahwa aku sebagai anak satu-satunya yang disekolahkan ke jenjang setinggi sudah selayaknya untuk menjunjung derajat mereka. Perih, melihat kenyataan bahwa Ayah sudah terlalu renta untuk melanjutkan bekerja. Sedih, setiap mendengar kata Ibu tetang harapannya yang tinggi untuk anaknya ini. Maaf saja bukan lah jawaban yang harus terucap disaat seperti ini. Aku bingung, galau, sedih, dan bahkan tidak tahu harus berkata apa untuk mereka. Diam yang katanya ialah emas, namun untuk saat ini diam merupakan jawaban penghianatanku pada bakti orangtua.
Sejujurnya aku ingin berkata bahwa inilah kemauanku Yah, Buk. Aku ingin mengungkapkan pada mereka bahwa sekarang ini sarjana saja tidak menjadi penjamin untuk dapat kerja. Dapat kerja mungkin, tapi apakah itu sesuai dengan keinginan dan hasrat peminatan anakmu selama ini? Kerja dimanapun saja rasanya aku sanggup namun apakah lantas dapat memenuhi ekspektasi tentang materi? Aku saja masih sangat takut melihat kenyataan bahwa pergulatan dalam mencari pekerjaan itu susah. aku saja masih buta harus merintis karir darimana. Hopeless! Setiap orangtua pasti menginginkan pendidikan yang lebih baik untuk anaknya. Aku merasakan hal itu juga yang terjadi pada Ayahku. Sebagai anak seorang petani beliau hanya sampai SR (Sekolah Rakyat), namun dengan keberaniaannya beliau memutuskan untuk keluar kampung dan berkelana hingga menjadi sosok Ayah yang luar biasa bagi aku anaknya. Aku selalu haru saat menjumpai Bapak-bapak dimanapun berada yang telah renta dan masih melaksakan pekerjaannya entah apapun itu nama profesinya. Aku selalu membayangkan hal yang sama, bahwa Ayahku di sisi lain wilayah jawa ini juga turut bekerja keras demi anak-anaknya. Ayahku yang sangat tidak suka bila anaknya tidak tidur dirumah, namun dibalik itu beliau mengajarkan bahwa sejelek apapun rumah kita namun kita harus tetap mengahrgai dan menerima Anugerah-Nya. Ayahku bukanlah seorang Profesor yang bergelar panjang dibelakang namanya, namun dari Ayahku lah aku diajarkan bagaimana berfikiran untuk maju dan jangan pantang menyerah. Ibuku, seperti Ibu-Ibu lain yang menyayangi anaknya. Dibalik keceriwisannya terpancar perhatian. Dibalik kengeyelannya tersimpan rasa kasih sayang yang luar biasa untuk anaknya. Ibuku dengan segala kerendahan hati yang dimilikinya selalu berusaha untuk membahagiakan anaknya. Ibuku yang selalu mengingatkan aku untuk tetap hormat dan taat denga Ayah dan dirinya.
Seharusnya aku faham apa yang diinginkan mereka. Seharusnya aku lebih peka bahwa tanggungjawabku tidak hanya sebatas sarjana saja. Ada satu dan dua hal yang itu ialah harapan kedua orangtua agar aku sukses di dunia. U
Tidak ada komentar:
Posting Komentar